Hujan Pagi-pagi
Hujan belum juga reda. Kamu menengok jam tanganmu. Jarum jam tengah menunjukkan pukul setengah delapan. Sebenarnya kamu baru beberapa menit yang lalu menunggu. Jam delapan nanti kita janji untuk bertemu. Namun hujan yang tiba-tiba saja turun setengah jam yang lalu membuat waktu terasa berjalan begitu amat pelan.
Akankah ia datang? Kamu gelisah. Pagi ini yang semula terang tiba-tiba mendung. Saat musim penghujan begini, lebih-lebih pada bulan Desember, memang cuaca sering kali tidak menentu. Dan kamu tak pernah sekalipun membaca ramalan BMKG soal cuaca. Ah, tidak penting! Jawabmu waktu disarankan senior di organisasi saat akan mengadakan perkemahan beberapa tahun yang lalu.
Hujan pagi-pagi begini tiba-tiba mengingatkanmu pada puisi-puisinya Sapardi. Mengapa Sapardi menyukai dan menuliskan hujan? Hujankah sebab yang membuat gadis itu menyibak-nyibakkan gerimis? Hujankah yang sebab rintik-rintiknya gadis itu yang telah dewasa usianya berjalan sendirian sambil menangis dan tidak ingin seorang pun melihatnya meneteskan air mata?
Dan entah bagaimana caranya puisi-puisi hujan Sapardi itu terus turun hingga masuk ke dalam dunia Jokpin. Dalam suatu cerpen, alangkah beruntungnya Jokpin sebab ia dapat berjumpa dengan wanita itu. Kamu suka membayangkan bagaimana betapa terkejutnya penyair favoritmu itu saat mengetahui bahwa wanita itu memiliki suara tangis amat begitu puitis.
Nanti pagi kita bertemu, yuk!
Chat darinya semalam membuat tidurmu tak tenang. Adakah yang perlu dipersiapkan untuk sebuah pertemuan? Kamu gelisah harus bagaimana, kamu selalu tidak siap untuk sebuah perjumpaan-perjumpaan, terlebih pagi ini ialah perjumpaanmu untuk kali pertama semenjak bertahun-tahun lamanya. Kali pertama semenjak diam-diam kamu menjauhi kehidupannya. Kamu takut tidak kelihatan keren dan ia menertawakanmu sikap kikuk dan canggungmu yang berlebihan. Dan terpenting lagi kamu takut ditodong berbagai macam tanya tentang pergi.
Sudah selesaikah kepergianmu itu?
Ironis memang, pergimu ternyata hanya kata menjauhkan sua dan jumpa darinya. Sementara hatimu tetap senantiasa bergeming di sana menyaksikan bagaimana cinta terus berkecamuk dan rindu terus meluap-luap membuat dirimu sesak dan selalu tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang benar-benar berubah dari kepergianmu. Bukankah masih sering terkenang dan terekam jelas dalam memori otakmu waktu ia tertidur dan bersandar pada bahumu? Bukankah masih terbayang dalam benakmu bagaimana senyumannya yang rekah pada suatu siang membuatmu menulis hingga berlembar-lembar puisi.
Oh, ya. Bagaimana dengan dirinya? Adakah kejutan-kejutan menanti? Barangkali senyuman itu menanti, yang kau ceritakan pada sesiapa yang menjadi sebab jatuh cintamu padanya. Barangkali ia akan mempersembahkanmu sebuah puisi yang akan ia bacakan sendiri sebagai sebuah janji yang harus ditepati yang pernah diucapkannya saat hari ulang tahunnya.
Nanti kita bertemu di kesepianmu ya, Mas!
Di manakah kesepianku? Kamu bertanya-tanya. Tapi tanda tanyamu urung kamu ajukan. Biarlah hatiku yang mencari dan menemukan sebuah jawaban. Ada hal lain yang lebih penting untuk ditanyakan. Dan kamu, benar saja sesuai dugaanku, pagi-pagi sekali sehabis mengisi pengajian, membongkar buku-buku lama. Lembar demi lembar, satu persatu buku-buku itu dibuka. Di manakah kamu menyimpannya? Satu pertanyaan yang teramat penting yang boleh jadi jawaban olehnya nanti menjadi terjawab sudah separuh pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mengganggu hidupmu belakangan ini.
**
Jam di tanganmu tengah menuding-nuding angka delapan. Apakah ia jadi ke sini? Kamu menengok ke luar. Hujan ternyata belum juga reda dan kamu tidak menemukan tanda-tanda kedatangannya. Sepertinya hujan menghalanginya untuk datang menemuiku, apakah sebaiknya aku pulang saja? Secangkir kopi panas sepertinya pas sekali untuk menghangatkan badan yang diserang dingin. Setelah lama mempertimbangkan, akhirnya kamu memilih pulang. Kamu bergegas pergi dari tempat yang sebenarnya kau ragukan sebagai tempat kesepianmu berada.
Sementara itu, di tempat lain yang kau kenali betul seluk beluknya, tanpa kamu sadari sedari tadi ia tengah menanti. Ia tengah menunggu di dalam kesepianmu. Sendiri. Dan sama-sama bertanya akankah kamu datang menjumpainya.
****
Kenapa tidak menghubungi lewat WA? Ah, aneh sekali kisah yang kau buat-buat itu. Apa susahnya sih aku dan dirinya di buat saling bertanya: “Turun hujan, nih! Kamu jadi ke sini, nggak? Emangnya kesepianku ada di mana? Sharelock dong! Posisi? Dan sebagainya”. Kan begitu seharusnya. Itu lebih masuk akal.
Lagian juga cerita yang kau buat, sudah semestinya dibuat sesesuai mungkin dengan apa adanya. Aku yang kesepian ini, jomblo dan sendiri, bisa-bisanya kau ceritakan ada seorang perempuan yang mau mengajak bertemu meski pada akhirnya pertemuan itu tak kunjung terjadi.
Eh, kamu tidak mau pesan kopi? Hujan-hujan begini sebaiknya kita syukuri dengan secangkir kopi. Yang hangat dan besahabat. Jokpin, penyair favoritmu itu pasti bangga padamu. Simpan dulu ceritamu itu. Hujan pagi begini ternyata kamu suka banget ngehalu.